Thursday, October 15, 2009

Sekilas Antara Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003 dan penggantinya Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008

Kita sudah mengetahui adanya peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur mengenai Industri Primer Hasil Hutan atau industri pengolahan hasil hutan. Memang peraturan yang digantikan sudah tidak berlaku lagi, namun tidak ada salahnya bila kita mencoba untuk membandingkannya. Bukan sebagai penilaian namun sebagai bahan pendalaman kita tentang peraturan yang ada.
Pada dasarnya Permenhut Nomor : P.35/Menhut-II/2008 tidak jauh berbeda dengan Kepmenhut Nomor : 125/Kpts-II/2003, bahkan cenderung menyederhanakan dan menyempurnakan isi dari Kepmenhut Nomor : 125/Kpts-II/2003.

Kepmenhut Nomor : 125/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu
(a) Tata cara permohonan dan persyaratan Izin Usaha Industri (IUI) dikelompokkan menjadi : (a) Industri Penggergajian Kayu yang terdiri dari (1) skala kecil kapasitas produksi sampai dengan 2.000 M3 pertahun, (2) skala menengah kapasitas lebih besar dari 2.000 s/d. 6.000 M3 pertahun, dan (3) skala besar kapasitas lebih besar dari 6.000 M3 pertahun. Kemudian (b) kelompok industri veneer, industri kayu lapis (plywood) dan laminating veneer lumber (LVL), dan industri serpih kayu (chipwood) terdiri dari (1) kapasitas sampai dengan 6.000 M3 pertahun dan (2) kapasitas lebih besar dari 6.000 M3 pertahun.
(b) Tidak mengatur tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu;
(c) Membedakan antara pembangunan pabrik dan sarana produksi dengan produksi komersial melalui adanya pengaturan tentang Izin Persetujuan Prinsip sebelum dikeluarkannya Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu;
(d) Mengatur tentang tata cara permohonan dan persyaratan pemindahan lokasi IUIPHHK;

Permenhut Nomor : P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan
(a) Tata cara permohonan dan persyaratan IUI tidak dikelompokkan lagi hanya dibedakan berdasarkan kapasitas produksi yakni sampai dengan 6.000 M3 pertahun dan di atas 6.000 M3 pertahun. Khusus IUIPHHBK tidak ada diatur mengenai besarnya kapasitas produksi pertahun.
(b) Sudah mengatur tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu;
(c) Izin Usaha Industri sudah satu bagian dengan pembangunan pabrik dan sarana produksinya;
(d) Tidak ada mengatur secara jelas tentang tata cara permohonan dan persyaratan pemindahan lokasi IUIPHH. Namun ada disinggung pada Pasal 28 tentang hal yang tidak boleh dilakukan oleh pemegang IUIPHH;

Disamping itu ada hal yang sebenarnya perlu dilakukan penelitian dan untuk dipertimbangkan oleh Departemen Kehutanan yakni :
(a) Jaminan pasokan bahan baku. Hal ini ada kaitannya dengan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) yang selalu disusun setiap tahun berjalan. Karena dalam pelaksanaannya sebagian besar pemegang IUIPHH sebenarnya kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku untuk satu tahun berjalan, dan memang ada diatur tentang revisi RPBBI namun sepanjang pengamatan saya hal tersebut tidak dilaksanakan. Ini khususnya pada IUIPHH yang kapasitas produksinya sampai dengan 6.000 M3 pertahun. Kesulitan untuk mendapatkan pasokan bahan baku pun menjadikan pemegang IUI agak nakal, seperti contohnya membuat kontrak suplay bahan baku dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan atau Izin Pemanfaatan Kayu Rakyat, namun dalam realisasinya bahan baku berasal dari pihak lain yang tidak terikat kontrak suplay bahan baku. Yang penting persyaratan kontrak suplay bahan baku untuk menyusun RPBBI sudah terpenuhi.
(b) Evaluasi atas IUIPHH beserta sanksi administrasi. Dalam pengamatan saya, ada IUIPHH yang sudah tidak berproduksi dan tidak pernah membuat laporan yang diwajibkan, tidak dicabut IUIPHH-nya. Hal ini membuka kemungkinan (dan ada terjadi) terjadinya jual beli surat IUI, kemudian dalam prakteknya seolah-olah peralatan industri dipindahkan lokasinya keluar dari wilayah kabupaten/kota. Padahal di lokasi yang baru mesin produksi yang terpasang bukan dari industri yang lama, surat IUI hanya untuk melegalkan mesin produksi yang terpasang di lokasi yang baru.

Demikianlah telah saya coba memperbandingkan antara Kepmenhut Nomor : 125/Kpts-II/2003 dengan penggantinya Permenhut Nomor : P.35/Menhut-II/2008. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua untuk menambah pengetahuan kita masing-masing.



=========================
Disarankan untuk dibuka :
1. Kepmenhut Nomor : 125/Kpts-II/2003
2. Permenhut Nomor : P.35/Menhut-II/2008


Tuesday, October 13, 2009

Sekilas Tentang Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Menhut-II/2008

Sebelumnya saya sudah membuat tulisan yang berjudul Industri Primer Hasil Hutan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 125/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu pada blog ini. Semula saya akan kembali langsung membahas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan yang merupakan pengganti Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003. Waktu itu saya tertarik untuk membandingkan kedua peraturan tersebut, karena ada hal menarik diantara keduanya.
Rupanya karena beberapa kendala saya belum sempat untuk membahas Permenhut No. P.35/Menhut-II/2003. Ternyata ada juga yang tertarik untuk memberikan komentar atas tulisan yang berkaitan dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Dalam komentarnya disebutkan ".... menurut p.35/menhut-II/2008 tidak disebutkan proses izin pemindahan lokasi industri sedangkan saat ini kepmenhut 125/kpts-II/2003 sudah tidak berlaku lagi?".

Sebelumnya lebih baik kita bahas Permenhut No. P.35/Menhut-II/2003 karena pasti ada yang belum tahu apa isi dari permenhut ini. Dan nanti dengan judul terpisah maka saya akan mencoba membuat perbandingan pada masing-masing produk peraturan.

Permenhut ini terdiri atas :
Bab I Ketentuan Umum
Berisi pasal 1 dan 2
Bab II Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu
Bagian Kesatu IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun; berisi pasal 3 dan 4
Bagian Kedua IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi di atas 6.000 M3 pertahun; berisi pasal 5
Bab III Izin Perluasan IPHHK
Bagian Kesatu Umum, berisi pasal 6
Bagian Kedua Izin Perluasan IPHHK dengan Total Kapasitas Produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun; berisi pasal 7 dan 8
Bagian Ketiga Izin Perluasan IPHHK dengan Total Kapasitas Produksi di atas 6.000 M3 pertahun; berisi pasal 9
Bab IV Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu
Berisi pasal 10
Bab V Izin Perluasan Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu
Berisi pasal 11 dan 12
Bab VI Masa Berlaku IUIPHH
Berisi pasal 13
Bab VII Perubahan Komposisi Jenis Produksi, Penurunan Kapasitas Produksi, Serta Peremajaan Mesin
Bagian Kesatu Perubahan Komposisi Jenis Produksi; pasal 14
Bagian Kedua Penurunan Kapasitas produksi; pasal 15 dan 16
Bagian Ketiga Peremajaan Mesin; pasal 18
Bab VIII Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Berisi pasal 19 s/d. 25
Bab IX Hak dan Kewajiban dan Larangan Pemegang Izin Usaha Industri
Berisi pasal 26 s/d. 28
Bab X Perubahan dan Penggantian Nama Pemegang Izin
Berisi pasal 29
Bab XI Jaminan Pasokan Bahan Baku
Berisi pasal 30 s/d. 34
Bab XII Sanksi
Berisi pasal 35
Bab XIII Ketentuan Lain-lain
Berisi pasal 36 dan 37
Bab XIV Ketentuan Peralihan
Berisi pasal 38 dan 39
Bab XV Ketentuan Penutup
Berisi pasal 40


Dalam pasal 2 disebutkan jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu terdiri atas : (a) Industri Penggergajian Kayu; (b) Industri Serpih Kyu (Wood Chip); (c) Industri Vinir (Veneer); (d) Industri Kayu Lapis (Plywood); dan (e) Laminated Veneer Lumber (LVL). IPHHK termasuk didalamnya industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu dan/atau kayu bulat kecil.

Untuk IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Kehutanan dan Bupati/Walikota dengan persyaratan yang terdiri atas :
(a) Mengisi Daftar isian permohonan
(b) Rekomendasi/pertimbangan teknis Kepala Daerah (Bupati/Walikota);
(c) Akte pendirian Perusahaan/Koperasi yang telah disahkan pejabat yang berwenang beserta perubahannya atau copy KTP untuk pemohon perorangan;
(d) NPWP;
(e) Dokumen UKL dan UPL sesuai peraturan yang berlaku;
(f) Izin Gangguan;
(g) Izin Lokasi;
(h) Izin Tempat Usaha;
(i) Laporan Kelayakan investasi pembangunan industrinya;
(j) Jaminan pasokan bahan baku.
Apabila seluruh persyaratan telah memenuhi ketentuan yang berlaku maka 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima Gubernur akan menerbitkan IUIPHHK yang bersangkutan. Dalam putusan surat Izin Usaha (IU) IPHHK ketetapan Kedua pemilik IUIPHHK diwajibkan untuk merealisasikan pembangunan sarana prasarana industrinya dalam batas waktu yang ditentukan oleh pemberi IU. Khusus IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 M3 pertahun Gubernur dapat melimpahkan kewenangan pemberian IU kepada Bupati/Walikota.
Bagi IUIPHHK dengan kapasitas produksi di atas 6.000 M3 pertahun permohonan disampaikan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persyaratan hampir sama dengan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun. Hanya tambahannya yakni :
(a) Rekomendasi/pertimbangan teknis dari Gubernur;
(b) Dokumen UKL dan UPL atau AMDAL sesuai peraturan yang berlaku.
Pemberian IUIPHHK-nya sama prosedurnya dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun.

Dalam hal pemberian izin perluasan IPHHK, yang wajib dimohon izin perluasannya apabila perluasan produksi melebihi 30 % dari kapasitas izin produksi yang diberikan. Untuk perluasan dibawah 30% dari kapasitas izin yang diberikan dengan ketentuan tidak menambah bahan baku dan cukup memberikan laporan kepada pemberi IUI.
Persyaratan permohonan izin perluasan IPHHK dengan total kapasitas produksi sampai dengan 6.000 M3 pertahun yakni :
(a) Mengisi daftar isian permohonan;
(b) Rekomendasi/pertimbangan teknis Kepala Dinas yang mengurusi bidang kehutanan di kabupaten/kota;
(c) Dokumen revisi UKL dan UPL;
(d) Laporan kelayakan investasi untuk perluasan industri;
(e) Jaminan pasokan bahan baku;
(f) Lokasi perluasan berada dalam satu kecamatan dengan industri awal.
Permohonan izin perluasan ditujukan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Kehutanan dan Bupati/Walikota.
Begitu juga dengan izin perluasan untuk IPHHK dengan kapasitas produksi di atas 6.000 M3 pertahun, permohonan diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP).

Dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 juga diatur tentang Izin Usaha Industri Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK). Namun untuk IUIPHHBK skala kecil kewajibannya cukup hanya memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) yang diperlakukan sebagai IUIPHHBK. TDI hanya diberikan kepada perorangan dan koperasi.
Persyaratan TDI yakni :
(a) Untuk perorangan berupa Fotocopy KTP, Surat Keterangan Tanah (sewa/milik), NPWP, Izin/keterangan penggunaan bangunan, dan daftar tenaga kerja.
(b) Untuk koperasi berupa akte pendirian koperasi, surat keterangan tanah, NPWP, izin/keterangan penggunaan tanah, dan daftar tenaga kerja.
Persyaratan IUIPHHBK antara lain :
(a) Mengisi daftar isian permohonan;
(b) Akte pendirian perusahaan/koperasi atau fotocopy KTP untuk perorangan;
(c) Dokumen UKL dan UPL atau AMDAL;
(d) Laporan kelayakan pembangunan industri;
(e) Jaminan pasokan bahan baku;
(f) NPWP;
(g) Izin Gangguan;
(h) Izin Lokasi;
(i) Izin Tempat Usaha.
Permohonan TDI dan IUIPHHBK kepada Bupati atau Walikota dengan tembusan Direktur (yang membidangi pengolahan dan pemasaran hasil hutan pada Departemen Kehutanan).
Dalam hal permohonan izin perluasan IUIPHHBK tidak jauh beda dengan persyaratan sebelumnya.

Yang perlu dicatat dengan tegas adalah IUIPHHK dan izin perluasan IPHHK, TDI PHHBK, IUIPHHBK, dan izin perluasan IPHHBK berlaku selama industri yang bersangkutan beroperasi. Beroperasi dengan maksud berproduksi secara kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 kali dalam 3 tahun. Apabila tidak beroperasi selama 1 tahun dikenakan sanksi pencabutan izin usaha industrinya.

Perubahan komposisi jenis produksi dan/atau kapasitas izin produksi tanpa menambah kebutuhan bahan baku dan jumlah total kapasitas izin produksi diajukan kepada Direktur (bila di atas 6.000 M3 pertahun); Kepala Dinas Kehutanan Provinsi (bila sampai dengan 6.000 M3 pertahun); Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota (bila sampai dengan 2.000 M3 pertahun bila pemberian izin dilimpahkan kepada Bupati/Walikota).

Penurunan kapasitas produksi dapat dilakukan berdasarkan usulan pemegang IUI atau hasil evaluasi.

Peremajaan mesian (reengineering) dapat dilakukan dengan :
(a) penggantian mesin-mesin yang rusak/tua dan tidak efisien untuk tujuan peningkatan efisiensi dan produktivitas industri;
(b) penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan diversifikasi bahan baku industri;
(c) penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan pengurangan atau pemanfaatan limbah/sisa produksi.
Mesin produksi utama adalah mesin-mesin produksi pada jenis industri tertentu yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas produksi.

Pengaturan pemberian IUIPHHK dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu diselenggarakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku. Namun pemberian IUIPHHK di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) masih terbatas kepada IUPHHK yang telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara voluntary.

Hak pemegang IUIPHH adalah : (a) Memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; dan (b) Mendapatkan pelayanan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kewajiban pemegang IUIPHH adalah :
(a). Menjalankan usaha industri sesuai dengan menjalankan usaha industri sesuai dengan izin yang dimiliki;
(b). Mengajukan izin perluasan, apabila melakukan perluasan produksi melebihi 30% dari kapasitas produksi yang diizinkan;
(c). Menyusun dan menyampaikan rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) setiap tahun;
(d). Menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi pemenuhan dan penggunaan bahan baku serta produksi;
(e). Membuat atau menyampaikan laporan mutasi kayu bulat (LMKB) atau laporan mutasi hasil hutan bukan kayu (LMHHBK);
(f). Membuat dan menyampaikan laporan mutasi hasil hutan olahan (LMHHO);
(g). Melakukan kegiatan usaha industri sesuai dengan yang ditetapkan dalam izin;
(h). Melaporkan secara berkala kegiatan dan hasil industrinya kepada pemberi izin dan instansi yang diberikan kewenangan dalam pembinaan dan pengembangan IPHH;
(i). Mempekerjakan tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan yang bersertifikat dalam hal industri dengan kapasitas sampai dengan 6.000 m3 pertahun jika pemegang izin tidak memiliki tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan yang bersertifikat; dan
(j). Memiliki tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan bersertifikat, untuk IPHHK dengan kapasitas lebih dari 6.000 m3 pertahun.

Larangan bagi pemegang IUIPHH :
(a). Memperluas usaha industri tanpa izin;
(b). Memindahkan lokasi usaha industri tanpa izin;
(c). Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
(d). Menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sah (illegal); atau
(e). Melakukan kegiatan industri yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Dalam hal perubahan dan penggantian nama IUI dan nama pemegang IUI bisa dilakukan dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang berlaku dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008.

Setiap permohonan IUI dan Izin Perluasan IPHH wajib menyampaikan Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB). JPBB dapat berasal dari Areal IUPHHK Hutan Alam/Tanaman, Hutan Hak/Rakyat, Perkebunan, dan impor. Semuanya itu harus disertai kontrak suplay bahan baku antara IUIPHH dengan pemilik bahan baku yang diketahui Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas kabupaten/kota.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan di luar pelanggaran pidana maka akan dikenakan sanksi administratif.

Demikianlah bongkar-bongkar peraturan mengenai apa yang ada di dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008. Dengan diberlakukannya permenhut ini maka Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003 tidak berlaku lagi.

Mudah-mudahan menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua.


Disarankan untuk dibuka :
Industri Primer Hasil Hutan Sesuai Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003

Friday, October 9, 2009

BPPHH Wilayah II Pematangsiantar Tak Ketinggalan Zaman

Mulai hari ini Jumat tanggal 9 Oktober 2009 Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II (BPPHH Wilayah II) Pematangsiantar yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara berkedudukan di Jalan Simanuk-manuk No. 9 Pematangsiantar telah memiliki 4 unit komputer yang sudah terhubung / terkoneksi dengan internet. Ini semua berkat prakarsa bapak pelaksana tugas Kepala Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II Pematangsiantar Ir. Muzain Syafiuddin dan bapak Kepala Sub Bagian Tata Usaha Betman Panggabean, SH yang mengupayakan pengadaan prasarana internet di kantor BPPHH Wilayah II. Walaupun sebenarnya kegiatan pengadaan ini tidak tersedia pada dana kegiatan rutin BPPHH Wilayah II Pematangsiantar.

Ini semua dilakukan agar pimpinan dan staf pada BPPHH Wilayah II Pematangsiantar dapat mengakses informasi berupa peraturan-peraturan terbaru dari Departemen Kehutanan RI khususnya dan peraturan lain yang terkait dengan bidang tugas di Kehutanan.

Mudah-mudahan dengan beragam dan terbarunya informasi yang ada BPPHH Wilayah II Pematangsiantar dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Monday, October 5, 2009

Kabut Asap

Pematangsiantar khusunya lokasi dimana kami tinggal, sekarang terus penuh dengan asap. Dari sore hari sampai pagi. Apalagi di pagi hari terasa menyengat hidung baunya. Masyarakat sekarang nampaknya kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Sampah plastik, daun, batang, cabang pohon dan lain sebagainya dibakar. Padahal kalau mereka mengerti akan kesehatan, lebih baik sampah tersebut dikumpulkan jadi satu di pinggir jalan. Pasti keesokan harinya diangkut oleh petugas kebersihan kota.

Apakah mereka tidak merasakan bau yang menyengat dan menyesakkan paru-paru ini ?

Memang cara berpikir yang pintas dan kurang bijak selalu dikerjakan oleh beberapa orang. Mereka berpikir dengan membakar sampah maka persoalan akan selesai. Padahal tidak.

Asap yang ditimbulkan oleh pembakaran tersebut berdampak pada terganggunya saluran pernapasan. Akhirnya banyak yang menderita sakit batuk bahkan mungkin lebih parah dari itu. Bisa saja mengakibatkan kanker saluran pernapasan apabila menghirup asap secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Mengingat asap pembakaran tersebut bersumber dari berbagai unsur seperti misalnya plastik, atau bahkan ban, cat, dan lain sebagainya.

Selain asap, panas yang dikeluarkan dalam pembakaran bisa membuat organisme-organisme dalam tanah mati. Sehingga kesuburan tanah akan berkurang. Memang bisa pulih kembali, tapi membutuhkan waktu. Dan bila pembakarannya terus-menerus di tempat yang sama, maka belum tentu akan terjadi pemulihan atas organisme-organisme yang mati tersebut.

Andai semua lini masyarakat menyadari bahwa pembakaran sampah berdampak negatif, maka sampah yang ada akan dikumpulkan di pinggir jalan. Dan bila perlu dipisahkan antara sampah organik, sampah plastik, sampah basah, dan sampah kering.

Mungkin perlu adanya sosialisasi dari pemerintah setempat kepada masyarakat dalam menangani sampah rumah tangga. Ini semua untuk kelestarian lingkungan setempat.

Dan supaya jangan ada lagi kabut asap.