Monday, November 30, 2009

Eksistensi Pancasila

Pancasila yang tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke-4, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988 adalah falsafah negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila, yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.
Apabila dicoba untuk dipisahkan maka kata Pancasila terdiri atas dua kata, panca yaitu lima dan sila yaitu aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; Pancasila merupakan dasar untuk tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki wilayah terbentang dari Sabang sampai Merauke.

NKRI sejak kemerdekaannya 17 Agustus 1945 telah melewati 4 (empat) fase waktu pemerintahan yaitu fase Orde Lama, fase Orde Baru, fase Pasca Reformasi, dan fase Pemilihan Langsung.

Dalam fase Orde Lama, cobaan terhadap keberadaan Pancasila ditandai dengan gejolak-gejolak fisik seperti DI/TII, Permesta, PRRI, PKI Madiun, RMS, G.30.S/PKI dan beberapa pemberontakan lainnya.

Fase Orde Baru, merupakan suasana yang kondusif bagi keberadaan Pancasila. Masa ini berawal dari adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang ditunggangi oleh PKI. Walaupun hal itu masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Sejak peristiwa tersebut, Pancasila digunakan sebagai alat untuk mendoktrinasi masyarakat agar penguasa saat itu dapat bertahan di kursi kekuasannya. Untuk memantapkan pelaksanaan doktrin Pancasila dibentuklah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau lebih dikenal dengan BP-7. Selain itu juga diadakan kegiatan penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P.4) di sekolah-sekolah di semua tingkat pendidikan, dan instansi pemerintah serta swasta. Walaupun ada gejolak fisik tapi pada masa ini diredam oleh kekuatan militer. Militer di masa Orde Baru lebih solid dan tunduk pada satu perintah dari Panglima Tertinggi yakni Presiden. Berbeda seperti pada masa Orde Lama Presiden tidak bisa mengontrol Angkatan Bersenjata, walaupun Presiden adalah Panglima Tertinggi.

Fase Pasca Reformasi ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru berdampak pada dihilangkannya BP-7 dan P.4. Mengingat BP-7 dan P.4 dianggap sebagai alat Orde Baru, sampai-sampai ada yang beranggapan Pancasila adalah produk Orde Baru, padahal sebenarnya Pancasila adalah buah pikiran para pendiri bangsa ini.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pengajaran Pancasila pada masa Orde Baru. Semuanya sudah sesuai dengan nilai-nilai yang diturunkan oleh para pendiri bangsa ini. Dimana Pancasila merupakan salah satu falsafah untuk mengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Yang salah dalam pengajaran Pancasila pada masa Orde Baru adalah doktrin mengenai Pancasila menjadi sakti setelah timbulnya Gerakan 30 September 1965 oleh PKI. Padahal Pancasila sudah sakti sejak Pancasila menjadi ideologi negara Republik Indonesia. Dan kesaktiannya telah dibuktikan dengan beberapa kali gejolak fisik (pemberontakan) yang tidak pernah berhasil memecah keutuhan NKRI.

Fase Pemilihan Langsung merupakan hal yang baru dalam demokrasi pemilihan bagi masyarakat Indonesia. Dimana Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Desa, anggota DPR / DPRD Provinsi / DPRD Kabupaten/Kota dan anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam fase ini Pancasila seolah semakin terpinggirkan. Muatan pendidikan yang berkaitan dengan Pancasila semakin berkurang, baik di lingkungan sekolah, Perguruan Tinggi, instansi pemerintah dan swasta.
Hal ini semakin ditandai dengan seringnya timbul pertikaian dan perkelahian antar desa, antar warga, antar suku/etnis, bahkan ada yang antar agama. Teror terjadi dimana-mana, bahkan sampai pada teror bom bunuh diri.

Melihat hal ini penulis merasa bahwa Pendidikan Pengamalan dan Penghayatan Pancasila perlu untuk dihidupkan kembali. Namun penerapannya haruslah terlebih dahulu menghilangkan kesan adanya peran serta Orde Baru.

Kebebasan berdemokrasi yang telah sampai pada puncaknya yakni dengan pemilihan langsung. Janganlah menjadikan kesuksesan ini sebagai titik balik menuju kehancuran persatuan dan kesatuan NKRI.


Pemerintah harus membuat kebijakan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Agar seluruh unsur yang ada di negara ini beserta masyarakatnya tidak mudah terprovokasi oleh hasutan-hasutan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.

Thursday, November 26, 2009

Dilema Antara Kebutuhan Manusia dengan Pelestarian Alam

Industri kayu di Indonesia sejak tahun 2003 telah mengalami penurunan jumlah yang sangat drastis. Hal ini dikarenakan luas kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan komersil dan layak tebang sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu tersebut. Selama ini dianggap bahwa industri-industri kayu itulah yang telah mempercepat laju kerusakan hutan. Disatu sisi memang ada benarnya, keberadaan industri yang rakus akan kayu tersebut membutuhkan puluhan ribu ton kayu perbulannya.
Walaupun sebenarnya ada program yang harus dijalankan para pemegang ijin pengusahaan hutan setelah melakukan eksploitasi hutan, nampaknya pelaksanaan dari program tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Iuran hasil hutan dan dana reboisasi yang seharusnya untuk kepentingan meremajakan kembali hutan yang sudah dieksploitasi ternyata tak bisa menghutankan kembali hutan yang sudah rusak.

Kembali kepada faktor yang membuat hutan menjadi rusak, sebenarnya industri kayu tersebut bukanlah salah satu faktor dominan. Faktor dominan lainnya adalah adanya program konversi hutan menjadi areal penggunaan lain, seperti misalnya menjadi hutan tanaman, perkebunan, lahan pertanian, pemukiman dan lain sebagainya.

Seperti yang kita ketahui hutan tanaman khususnya hutan tanaman industri adalah merupakan hutan homogen (sejenis). Dengan perubahan dari hutan alam menjadi hutan tanaman maka berakibat pada perubahan iklim setempat, tekstur dan struktur tanah, demikian juga ekosistem yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan pembukaan areal hutan menjadi areal perkebunan, keseluruhan unsur yang ada dalam ekosistem sebelumnya pasti akan berganti. Perubahan ini akan berakibat pada adanya kematian bahkan sampai kepada punahnya satu atau keseluruhan spesies yang ada dalam lingkungan hutan alam sebelumnya, serta munculnya satu atau lebih spesies baru yang belum diketahui apakah cocok dengan kehidupan manusia.

Belum lagi dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah besar. Hal ini membutuhkan sumber makanan dan tempat tinggal yang lebih luas lagi. Sehingga laju kerusakan hutan akan terus bertambah.

Penduduk (manusia) membutuhkan sandang, pangan dan papan, yang kesemuanya itu harus disediakan oleh alam. Padahal di saat yang bersamaan alam mengalami penurunan kinerja akibat pertambahan penduduk.

Inilah dilema yang kita hadapi saat ini. Sebagai warga negara maka sudah sewajarnya kita turut menjaga kelestarian alam. Janganlah kita selalu menyalahkan pihak lain untuk kelestarian alam. Marilah kita lestarikan lingkungan sekitar kita dulu.

One Man One Tree = Satu Orang Untuk Satu Pohon

Thursday, November 19, 2009

Tata Cara Penerbitan Dokumen Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.33/Menhut-II/2007, tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) disebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, menciptakan daya saing usaha serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat, maka diperlukan penyederhanaan pengaturan terhadap peredaran kayu yang berasal dari hutan hak termasuk kayu hasil tanaman masyarakat. Bahwa pemberlakuan Peraturan Menteri Kehutanan tersebut dipersyaratkan tersedianya tenaga penerbit SKAU (Kepala Desa yang telah dibekali pelatihan pengukuran dan penetapan jenis kayu).

2. Maksud dan Tujuan

Penyelenggaraan Pelatihan Kepala Desa Tentang Tata Cara Penerbitan SKAU dimaksudkan untuk membekali para Kepala Desa mengenai penatausahaan hasil hutan kayu rakyat dan penerbitan dokumen angkutan hasil hutan rakyat Surat angkutan Asal Usul (SKAU).
Hal ini bertujuan agar hasil hutan kayu rakyat mendapatkan pengakuan dan perlindungan sehingga tercipta tertib administrasi peredaran kayu rakyat, dan menghindari adanya penyalahgunaan dokumen SKAU.

3. Pengertian

Dalam penerbitan dokumen SKAU, yang dimaksud :
a. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah
b. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
c. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau lahan masyarakat, di luar kawasan hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun.
d. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, yang selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
e. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
f. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat, antara lain berupa kayu gergajian,kayu pacakan,dan arang.
g. Surat Keterangan Asal usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.
h. Pejabat penerbit Surat Keterangan Asal Usul (P2SKAU) adalah Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut, yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
i. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
j. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
k. Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah unit pelaksana teknis Dinas Kabupaten/Kota yang berada di tingkat Kecamatan yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kecamatan.
l. Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPPHH) adalah unit pelaksana teknis daerah di bidang pengendalian peredaran hasil hutan pada Dinas Provinsi Sumatera Utara.

II. PERMOHONAN PENERBITAN

Masyarakat / pemilik kayu di dalam hutan hak dan lahan masyarakat yang akan melakukan penebangan kayu rakyat, melaporkan rencana penebangannya kepada Kepala Desa/Lurah dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan melengkapi alat bukti kebenaran hasil hutan hak yakni:
a. Sertifkat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik, atau surat keterangan lain yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan; atau
b. Sertifikat Hak Pakai; atau
c. Surat atau dokumen lain yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya.
Kelengkapan yang dibuat dalam permohonan antara lain :
a. Rincian jenis kayu, jumlah batang dan volumenya
b. Dokumen asal usul sebagai alat bukti yang sah.

III. PENGUKURAN DAN PENGUJIAN

Kepala Desa/Lurah sebagai Pejabat Penerbit dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menerima permohonan untuk penerbitan dokumen SKAU segera melakukan pemeriksaan atas hasil hutan yang akan ditebang.
Setelah ditebang hasil hutan kayu tersebut dilakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan kayu rakyat.
Pengukuran kayu dilakukan untuk mendapatkan volume kayu yang akan diangkut.
Penetapan jenis kayu penting untuk menentukan apakah pengangkutannya menggunakan SKAU atau tidak. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007 terdapat 21 jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan SKAU.
Kepala Desa/Lurah dalam melakukan pengukuran dan penetapan jenis dapat dibantu oleh aparat Desa/Kelurahan lainnya yang dianggap mampu.
Hasil pengukuran dan pengujian kayu dicatat ke dalam buku ukur, yang nantinya akan dituangkan ke dalam dokumen Surat Keterangan Asal Usul (SKAU).
Tata cara pengukuran dan penetapan jenis oleh Kepala Desa/Lurah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

IV. PENERBITAN

1. Blanko dokumen SKAU harus diketik dengan menggunakan mesin tik.
2. Masa berlaku SKAU ditetapkan oleh masing-masing Penerbit dengan mempertimbangkan waktu tempuh normal.
Masa berlaku ditulis dengan huruf, contoh : Satu
3. Dari tanggal, contoh penulisan : 16-11-2009 s/d. 16-11-2009
4. Desa / kelurahan, contoh : Raya Usang
5. Kecamatan, contoh : Raya
6. Kabupaten / Kota, contoh : Simalungun
7. Bukti Kepemilikan, contoh : Surat Keterangan
8. Nomor, contoh : 593/320/2007
9. Nama Pemilik, contoh : Jian Saragih
10. Alamat Pemilik, contoh : Bittang
11. Tempat muat, contoh : Bittang
12. Jenis Alat Angkut, contoh : Truk BK 8875 LT
13. Nama Penerima, contoh : UD. Nainggolan
14. Alamat Penerima, contoh : P.Siantar
15. Kolom “No” ditulis nomor urut bila lebih dari 1 (satu) jenis kayu.
16. Kolom “Jenis Kayu” diisi jenis kayu rakyat yang termasuk dalam 21 jenis.
17. Kolom “Jumlah Batang” diisi jumlah batang.
18. Kolom “Volume (M3/SM)” diisi volume dari kayu yang akan diangkut.
19. Kolom “Keterangan” diisi keterangan yang perlu, contoh : Kayu bulat, atau bisa juga Kayu Olahan Masyarakat/Pacakan
20. Dituliskan nama tempat penerbitan dan tanggal penerbitan, contoh : Raya Usang, 16 Nopember 2009.
21. Nama ditulis dengan jelas, contoh : Ferdiwan T.Saragih.
22. Dibawah jabatan Kepala Desa/Lurah dituliskan nomor register bila sudah ada, contoh : No.Reg.SKAU : 19/02.06/SKAU/Simal/FTS.
23. Setelah ditandatangani dan distempel maka SKAU dapat dipergunakan untuk menyertai kayu rakyat hanya untuk 1 (satu) jenis alat angkut dan 1 (satu) kali keberangkatan.
24. Blanko SKAU ada 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 : untuk arsip Penerima kayu
b. Lembar ke-2 : untuk Kepala Dinas Kabupaten/kota tujuan kayu
c. Lembar ke-3 : untuk arsip Pengirim kayu
d. Lembar ke-4 : untuk arsip Penerbit SKAU
Dokumen SKAU yang menyertai kayu adalah Lembar ke-1 dan lembar ke-2.
25. Pengisian blanko dokumen SKAU tidak diperkenankan/tidak diperbolehkan adanya tindisan, coretan, hapusan dan hal lain yang dapat menimbulkan keraguan isi dari dokumen SKAU.
Contoh : terjadi salah pencetakan pada salah satu lembar blanko SKAU; dokumen rusak; Nomor seri yang kabur;
26. Dalam hal Pengisian blanko dokumen SKAU terdapat tindisan, coretan, hapusan dan hal lain yang dapat menimbulkan keraguan isi dari dokumen SKAU maka dokumen SKAU dianggap “BATAL” dan dibuatkan Berita Acara Pembatalan. Untuk selanjutnya dikembalikan ke Dinas Kabupaten/Kota.

V. PELAPORAN

Pejabat Penerbit SKAU setiap akhir bulan wajib membuat daftar penerbitan SKAU dan daftar penerimaan, penerbitan dan persediaan blanko SKAU sebanyak 4 rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya kepada :
1. Lembar ke-1 untuk Kepala Dinas Kabupaten / Kota
2. Lembar ke-2 untuk Kepala Dinas Provinsi
3. Lembar ke-3 untuk Kepala BPPHH
4. Lembar ke-4 arsip
Setiap akan mengajukan permohonan permintaan blanko dokumen SKAU, Pejabat Penerbit harus membuat daftar penerbitan/penggunaan blanko dokumen SKAU sebelumnya sebagai lampiran dari permohonan.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH


Disajikan Oleh :
Ir. Togu Toni Bangun Silaban
Ucok Firda Purba, SP

(Staf Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II Pematangsiantar)

Link
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007


Pengelolaan Dokumen

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bahan baku kayu industri kehutanan selama ini masih berasal dari hutan alam. Kemampuan produksi kayu dari hutan alam yang semakin berkurang, membuat kesenjangan antara pasokan bahan baku kayu dengan kebutuhan industri.
Untuk menutupi kebutuhan pasokan bahan baku kayu diarahkan agar industri kehutanan bertumpu pada bahan baku andalan dari hutan tanaman, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat dan kayu tebangan perkebunan.
Dalam rangka pengakuan, perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan rakyat maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.33/Menhut-II/2007, tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU). Disamping itu dikeluarkannya Peraturan Menteri ini agar dalam pengelolaan kayu hutan rakyat dapat lebih sederhana dan tidak serumit pengelolaan kayu yang berasal dari hutan Negara. Dan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kepala Desa/Lurah atau pejabat setingkat yang diangkat oleh Bupati atau Walikota sebagai pejabat penerbit Surat Keterangan Asal Usul harus sudah dibekali pelatihan pengukuran dan penetapan jenis kayu, dan pengelolaan dokumen SKAU.

2. Dasar Hukum.

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Nomor 19 Tahun 2004;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak;
8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.33/Menhut-II/2007, tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.63/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara.

3. Maksud dan Tujuan

Diselenggarakannya Pelatihan Kepala Desa Tentang Tata Cara Penerbitan SKAU dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang penatausahaan dokumen SKAU.
Adapun tujuannya adalah agar tercipta tertib administrasi pengangkutan hasil hutan kayu rakyat dan menghindari penyalahgunaan dokumen SKAU.

4. Pengertian

Dalam penerbitan dokumen SKAU, yang dimaksud :
a. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah
b. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
c. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau lahan masyarakat, di luar kawasan hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan pertanian dan kebun.
d. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, yang selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
e. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
f. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat, antara lain berupa kayu gergajian,kayu pacakan,dan arang.
g. Surat Keterangan Asal usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.
h. Pejabat penerbit Surat Keterangan Asal Usul (P2SKAU) adalah Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut, yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
i. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
j. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
k. Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah unit pelaksana teknis Dinas Kabupaten/Kota yang berada di tingkat Kecamatan yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kecamatan.
l. Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPPHH) adalah unit pelaksana teknis daerah di bidang pengendalian peredaran hasil hutan pada Dinas Provinsi Sumatera Utara.

5. Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan

Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 061-453.K/ Tahun 2002 tentang Tugas Fungsi dan Tata Kerja Dinas Kehutanan serta Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPPHH) mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam Pengelolaan Tata Usaha; Penyelenggaraan Bimbingan teknis; Monitoring dan Evaluasi serta Pengendalian Peredaran Hasil Hutan. Tugas tersebut antara lain :
1. Pelaksanaan bimbingan teknis pengujian hasil hutan, penandaan tanda legalitas hasil hutan, pengelolaan dokumen peredaran hasil hutan dan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBI) sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
2. Penyelenggaraan Pengendalian Peredaran Hasil Hutan di wilayahnya sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
3. Penyelenggaraan bimbingan monitoring, evaluasi dan pengawasan penggunaan Dokumen Peredaran Hasil Hutan dan Peredaran Hasil Hutan pada pos pemeriksaan serta rencana pemenuhan Bahan Baku Industri sesuai ketentuan dan standatr yang ditetapkan.
4. Penyelenggaraan proses yustisi terhadap pelanggaran/kejahatan berdasarkan hasil pemeriksaan Peredaran Hasil Hutan sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
5. Penyelenggaraan bimbingan, monitoring, evaluasi dan pengawasan serta pengujian hasil hutan di wilayahnya, sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
6. Penyelenggaraan bimbingan teknis pengelolaan Dokumen Peredaran Hasil Hutan dan tanda legalitas Hasil Hutan. Sesuai ketentuan standart yang ditetapkan.
7. Penyelenggaraan kegiatan pengelolaan dan pelayanan, pemantauan, pengawasan dan pelaporan dokumen peredaran hasil hutan, penerimaan pungutan iuran hasil hutan, sesuai ketentuan dan standart yang ditentukan.
8. Pemberian rekomendasi usulan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBI). Sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
9. Pelaksanaan Stock Opname Kayu Bulat/Bahan Baku Serpih (BBS) dan kayu olahan di wilayahnya sesuai ketentuan dan standart yang ditetapkan.
10. Pelaksanaan tugas selain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.
11. Pemberian masukan yang perlu kepada Kepala Dinas sesuai bidang tugas dan fungsinya.
12. Pelaporan dan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada Kepala Dinas sesuai standart yang ditetapkan.
Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPPHH) di Provinsi Sumatera Utara ada 5 unit yakni :
1. BPPHH Wilayah I berkedudukan di Medan;
2. BPPHH Wilayah II berkedudukan di Pematangsiantar;
3. BPPHH Wilayah III berkedudukan di Kisaran;
4. BPPHH Wilayah IV berkedudukan di Padang Sidempuan;
5. BPPHH Wilayah V berkedudukan di Kabanjahe.

II. PENGELOLAAN DOKUMEN

1. Permohonan Dokumen

Pemilik kayu rakyat yang hendak mengangkut kayunya menyampaikan permohonan untuk diterbitkan dokumen angkutan hasil hutan kepada penerbit. Permohonan dibuat oleh pemilik kayu yang isinya antara lain:
a. Rincian jenis kayu, jumlah batang dan volumenya
b. Kayu yang diangkut memiliki dokumen asal usul yang sah.
c. Pemohon bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kebenaran asal usul kayu bulat yang dimohonkan penerbitan dokumen angkutan SKAU.
d. Tembusan permohonan disampaikan kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Kabupaten.

2. Pengukuran dan Penetapan Jenis

Pengukuran kayu dilakukan untuk mendapatkan volume kayu yang akan diangkut.
Penetapan jenis kayu penting untuk menentukan apakah pengangkutannya menggunakan SKAU atau tidak, Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007 terdapat 21 jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan SKAU.
Kepala Desa/Lurah dalam melakukan pengukuran dan penetapan jenis dapat dibantu oleh aparat Desa/Kelurahan lainnya yang dianggap mampu.
Tata cara pengukuran dan penetapan jenis oleh Kepala Desa/Lurah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Legalitas Kayu Rakyat

Hasil hutan yang diolah secara tradisional yang berasal dari hutan hak adalah berupa kayu bulat dan kayu olahan masyarakat dinyatakan sah apabila berasal dari perizinan yang sah yang dibuktikan dengan :
a. Sertifkat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik, atau surat keterangan lain yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan; atau
b. Sertifikat Hak Pakai; atau
c. Surat atau dokumen lain yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya.
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dinyatakan sah, apabila menggunakan blanko SKAU yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan dan pencetakannya oleh Dinas Kehutanan Provinsi, diterbitkan oleh Pejabat Penerbit SKAU, isi dokumen sesuai dengan fisik (jumlah, jenis dan ukuran) dan tidak terdapat coretan / hapusan / tindisan.

4. Pendistribusian Dokumen

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
Pencetakan dan pendistribusian blanko SKAU oleh Dinas Provinsi didasarkan atas rencana penggunaan atau kebutuhan blanko SKAU.
Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan
Berdasarkan permohonan Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala BPPHH melakukan penilaian untuk selanjutnya menyetujui atau menolak permohonan blanko SKAU.
Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota
Rencana penggunaan atau kebutuhan blanko SKAU pada masing-masing Dinas Kabupaten/Kota ditetapkan dengan mempertimbangkan potensi hutan hak, perijinan yang sah dan rencana pengangkutan disertai rincian perhitungannya.
Kepala Dinas Kabupaten/Kota mengajukan permohonan blanko SKAU sesuai rencana kebutuhan / penggunaan Dinas Kehutanan Provinsi Cq. Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan.
Dalam setiap permohonan wajib dilengkapi dengan laporan penggunaan blanko SKAU sebelumnya.
Pejabat Penerbit SKAU
Pejabat Penerbit wajib melengkapi permohonan blanko dokumen SKAU dengan daftar penerbitan SKAU.

5. Tugas Pokok Pejabat Penerbit SKAU

1. Melakukan pemeriksaan terhadap kayu yang dajukan pemohon dan melakukan pemeriksaan fisik dan asal usul kayu yang akan diangkut.
2. Menerbitkan SKAU setelah pemeriksaan fisik dinyatakan benar.
3. Bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik kayu rakyat yang diterbitkan dokumen SKAU-nya.
4. Mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan dokumen SKAU yang diterimanya langsung kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota selaku penanggung jawab pendistribusi dokumen SKAU di wilayah Kabupaten/Kota.

III. PENERBITAN SKAU

Setelah Pejabat Penerbit SKAU melakukan pemeriksaan fisik dan kebenaran asal usul kayu rakyat, maka dokumen SKAU dapat diterbitkan.
Isi dokumen sesuai dengan fisik kayu baik jumlah, jenis dan ukuran dan tidak terdapat coretan / hapusan / tindisan.
Blanko SKAU dibuat 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 : menyertai kayu yang diangkut dan sekaligus sebagai arsip Penerima
b. Lembar ke-2 : untuk Kepala Dinas Kabupaten/kota tujuan kayu rakyat
c. Lembar ke-3 : untuk arsip Pengirim
d. Lembar ke-4 : untuk arsip Penerbit
Masa berlaku dokumen SKAU ditetapkan oleh masing-masing Penerbit dengan mempertimbangkan waktu tempuh normal.

IV. PENATAUSAHAAN DOKUMEN SKAU

Kepala Dinas Provinsi menetapkan personil pengelola blanko SKAU pada Dinas Provinsi dan BPPHH.
Kepala Dinas Kabupaten / Kota menetapkan personil pengelola blanko SKAU.
Personil pengelola blanko SKAU wajib membuat buku register penerimaan dan penyaluran blanko SKAU dan bertanggung jawab atas penerimaan, pendistribusian, penggunaan dan persediaan.
Blanko SKAU yang berada di Dinas Kehutanan Provinsi, BPPHH, Dinas Kabupaten / Kota dan P2SKAU, wajib disimpan di tempat yang aman dari gangguan pencurian dan kerusakan.
Dalam setiap penyerahan blanko SKAU dari Dinas Provinsi kepada BPPHH; dari BPPHH kepada Dinas Kabupaten/Kota wajib dibuatkan Berita Acara Serah Terima Blanko (BASTB).
Apabila terjadi kerusakan, salah ketik atau salah pengisian terhadap blanko SKAU yang terjadi pada saat penerbitan, wajib dibuatkan Berita Acara Pembatalan oleh P2SKAU yang bersangkutan.

V. PELAPORAN

1. Kepala Desa selaku P2SKAU setiap akhir bulan wajib membuat daftar penerbitan SKAU dan daftar penerimaan, penerbitan dan persediaan blanko SKAU sebanyak 4 rangkap dan disampaikan selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya kepada :
? Lembar ke-1 untuk Kepala Dinas Kabupaten / Kota
? Lembar ke-2 untuk Kepala Dinas Provinsi
? Lembar ke-3 untuk Kepala BPPHH
? Lembar ke-4 arsip
2. Kepala Dinas Kabupaten/Kota setelah menerima daftar penerbitan SKAU dari P2SKAU diwilayah kerjanya, setiap bulan wajib membuat daftar rekapitulasi penggunaan blanko SKAU disampaikan selambat-lambatnya tanggal 15 bulan yang sama kepada Kepala Dinas Provinsi dan BPPHH.
3. Pengelola SKAU Kabupaten/Kota setiap tanggal 5 bulan berikutnya wajib membuat daftar penerimaan, penyerahan dan persediaan blanko SKAU dan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi.

VI. PEMBERHENTIAN P2SKAU

P2SKAU berhenti karena berhenti sebagai Kepala Desa/Lurah
Mengundurkan diri
Mutasi atau pindah tugas
Diberhentikan karena melakukan pelanggaran
Pemberhentian P2SKAU dilakukan oleh Bupati/Walikota atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Bupati/Walikota

VII. PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN

Dinas Provinsi membina dan mengendalikan terhadap pelaksanaan penatausahaan kayu hutan hak di wilayah kerjanya.
Dinas Kabupaten / Kota membina dan mengawasi terhadap pelaksanaan penatausahaan kayu hutan hak di wilayah kerjanya dan melaporkan kepada Bupati/Walikota setempat.
Pemegang ijin selaku pengguna SKAU apabila melanggar ketentuan yang berlaku akan dikenakan sanksi administratif yang sifatnya pembinaan yang pengaturannya ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati / Walikota.

VII. PENUTUP

Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan dokumen SKAU. Mudah-mudahan dapat berguna dalam pelaksanaan tugas Kepala Desa / Lurah selaku Pejabat Penerbit SKAU.
Terima kasih.


Disajikan Oleh :
Ir. Togu Toni Bangun Silaban
Ucok Firda Purba, SP
(Staf Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II Pematangsiantar)



Pelatihan Kepala Desa Tentang Tata Cara Penerbitan SKAU Tahun 2009

Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II Pematangsiantar menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Kepala Desa tentang Tata Cara Penerbitan SKAU di Balai Pendidikan Pelatihan Kehutanan Pematangsiantar selama 5 (lima) hari dari tanggal 16 Nopember 2009 s/d. 20 Nopember 2009.

Kegiatan ini merupakan amanat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak. Dimana pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara dengan Kepala Desa/Lurah di wilayah di mana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.

Permenhut ini telah mengalami perubahan yakni dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006 dan yang terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007.

Salah satu bahan ajar dalam pelatihan tersebut akan diposting juga dalam blog ini. Bahan ajar ini merupakan bahan ajar yang disajikan oleh instruktur dari Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah-II Pematangsiantar yang langsung berkaitan dengan penerbitan dokumen SKAU.

Untuk bahan ajar dari instruktur yang berasal dari instansi lainnya, sengaja tidak disajikan untuk menghindari adanya masalah hak cipta.

Dalam pelaksanaan pelatihan tersebut masih banyak kekurangan. Mudah-mudahan kedepannya dapat diperbaiki.

Demikian informasinya, mudah-mudahan bermanfaat bagi yang mengakses blog ini.

Wednesday, November 4, 2009

One Man One Tree

Kelestarian lingkungan seharusnya sudah merupakan kewajiban kita bersama, bukan hanya organisasi ataupun instansi tertentu. Namun itulah kelemahan umat manusia, yang memandang bahwa lingkungan ini ada secara alami dan biarlah bertumbuh secara alami, apalagi ada organisasi atau instansi yang bertugas untuk melestarikannya. Di saat organisasi atau instansi itu kurang solid atau baik dalam melaksanakan tugasnya. Maka akan timbul pergolakan, demonstrasi anti organisasi atau instansi tertentu.

Begitu juga dengan di Indonesia, Departemen Kehutanan selaku pengelola kelestarian lingkungan wilayah hutan sudah berupaya melakukan kegiatan-kegiatan untuk melestarikan keberadaan hutan. Memang telah begitu banyak upaya, namun pasti ada kekurangannya. Sifat manusia yang rambutnya sama-sama hitam tapi isi hatinya siapa yang tahu. Apabila dari zaman orde baru sampai saat ini seluruh kegiatan penanaman itu dilaksanakan dengan betul, maka dalam luasan 1 M2 pasti akan tumbuh pohon di seluruh wilayah Indonesia. Dan tiap tahun kita akan kewalahan untuk mengeksploitasinya. Tapi apa daya banyak oknum yang menyalahgunakan kegiatan-kegiatan tersebut. Yang terlihat hanyalah tanah-tanah yang ditumbuhi oleh rerumputan, bahkan ada yang hanya nampak tanah dan batu-batuan.

Sudah penanaman tidak dilaksanakan 100%, kegiatan penebangan pun membabi buta. Baik perusahaan besar, kecil, koperasi, BUMN, bahkan perseorangan dengan leluasa menebangi hutan. Setiap kali ada perubahan keputusan yang mengatur tentang penebangan, selalu saja dicari pasal-pasal maupun ayat-ayat yang bisa digunakan untuk membenarkan adanya kegiatan penebangan. Sebegitu sempurnanya setiap keputusan yang ada, selalu saja ada oknum-oknum yang merasa pintar untuk membenarkan adanya penebangan di areal-areal yang seharusnya tidak ditebang.

Tahun 2009 ini Departemen Kehutanan kembali membuat satu terobosan / semangat baru dalam penanaman yakni ONE MAN ONE TREE. Dari artinya sudah jelas satu orang satu pohon. Kalau saja setiap individu manusia sadar sepenuhnya kalau kelestarian ini milik bersama, tentunya lingkungan ini akan indah dilihat tanpa perlu adanya program-program yang terkadang manis tapi susah dilakukan.

Namun satu hal yang perlu disadari, jangan kita protes atas apa yang dilakukan orang sebelum kita melakukan apa yang dilakukan oleh orang tersebut.

Salam manis dari Pandangan Rimbawan.