Tuesday, April 28, 2009

Nasib Hutanku

Kota Pematangsiantar merupakan daerah yang sangat strategis. Dari sini kita dapat ke mana saja kita mau. Misalnya saja ke Medan melalui Tebing Tinggi, ke Lima Puluh melalui Perdagangan, melalui Parapat ke Siborong-borong, Dolok Sanggul, Tarutung, Sibolga, Padang Sidempuan dan lain-lain.
Sepanjang perjalanan kita sesekali dapat melihat pepohonan, yang dulunya merupakan hutan rimba, namun itu semua tinggal kenangan. Buktinya saat ini hanya sesekali terlihat pepohonan dalam perjalanan kita.
Ini merupakan hal yang tak bisa kita hindari seiring dengan laju pembangunan. Mengapa ?
Kita ketahui semua lini pembangunan membutuhkan bahan baku. Dan bahan baku utama adalah kayu seberapa besarpun diameternya. Sebenarnya kalau kita mau bertindak secara lestari, kita dapat menebang pepohonan tersebut atas nama pembangunan. Tapi setelah kita menebangnya, yah sadarlah kita pun harus bertanggung jawab untuk menanaminya kembali.
Bila kita merasa bertanggung jawab atas alam ini, maka kita anggaplah bahwa kita lagi berbelanja di super-super market yang sangat lengkap dan Tuhan adalah penjualnya. Kita mengambil (membeli) sesuatu dari alam maka kita harus membayar sesuai dengan yang kita ambil (beli). Karena sebenarnya di alam ini kita tidak bisa mengambilnya dengan gratis.
Bila kita ingat pada saat penciptaan. Karena dosanya Adam harus mengolah alam supaya bisa mendapatkan sesuatu dari alam. Tentunya kita tidak harus menanam dulu baru bisa menebang pohon. Situasinya dapat kita balik. Kita tebang dulu baru kita tanam, janganlah kita tebang dulu nantilah ditanam.
Sungguh tragis apa yang terjadi saat ini. Hutan yang saya lihat di sekitar saya merupakan wakil atas kondisi yang ada pada seluruh hutan yang ada di Indonesia, bahkan mungkin lebih buruk lagi.
Akankah kita bisa berubah, dan menganggap diri kita sebagai pembeli yang baik atas alam ini. Mudah-mudahan.

Monday, April 13, 2009

Tata Cara Penilaian Kinerja

Seperti halnya murid di sekolah, maka para pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu pun harus di evaluasi. Evaluasi atau penilaian diberikan agar dapat diketahui kinerja dari Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Yang tujuannya untuk menetapkan arah pengaturan dan pembinaan lebih lanjut terhadap kegiatan usaha IPHHK yang bersangkutan, guna mewujudkan industri yang efisien, produktif dan berdaya tinggi dalam kerangka pengelolaan hutan secara lestari.

Kriteria dan indikator yang dinilai telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 303/Kpts-II/2003 tanggal 5 September 2003 tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Industri Primer Hasil Hutan Kayu, antara lain :

a. Kriteria Perizinan, dengan indikator : (1). Izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2). Lokasi industri sesuai dengan yang tertera dalam IUI.
b. Kriteria Pemenuhan Bahan Baku, dengan indikator : (1). Pasokan bahan baku berasal dari izin usaha yang sah; (2). Kontinyuitas bahan baku.
c. Kriteria Legalitas Bahan Baku, dengan indikator : (1). Seluruh pasokan bahan baku dilindungi dokumen yang sah; (2). Tertib penatausahaan hasil hutan.
d. Kriteria Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Izin, dengan indikator : (1). Kapasitas terpasang sama atau tidak melebihi kapasitas izin; (2). Operasi industri sesuai dengan kapasitas produksi yang diizinkan.
e. Kriteria Efisiensi Penggunaan Bahan Baku, dengan indikator : (1). Efisiensi penggunaan bahan baku; (2). Tercapainya rendemen / recovery factor.
f. Kriteria Kesehatan Finansial, dengan indikator : (1). Tersedianya business plan; (2). Tercapainya efisiensi finasial; (3). Tercapainya kesehatan finansial.
g. Kriteria Baku Mutu Lingkungan, dengan indikator : (1). Tersedianya kajian dampak lingkungan; (2). Operasi industri tidak menimbulkan pencemaran lingkungan; (3). Tersedianya unit pengelolaan limbah.
h. Kriteria Dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri, dengan indikator : (1). Tersedianya dokumen RPBBI; (2). Kesesuaian rencana dan realisasi pemenuhan bahan baku.
i. Kriteria Pelaporan, dengan indikator : (1). Terpenuhinya kewajiban penyampaian Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) dan Laporan Mutasi Hasil Hutan Olahan (LMHHO); (2). Terpenuhinya kewajiban penyampaian laporan berkala kegiatan industri.
j. Kriteria Tenaga Kerja, dengan indikator : (1). Tersedianya Tenaga Penguji Hasil Hutan; (2). Tersedianya Kesepakatan Kerja Bersama.

Penilaian kinerja didasarkan atas data dan informasi yang diperoleh melalui kegiatan : (a). paparan kegiatan yang dilaksanakan IPHHK; dan/atau (b). evaluasi IPHHK; dan/atau (c). monitoring pelaporan IPHHK yang bersangkutan dan/atau pelaporan dan informasi dari Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten atau Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi.

Evaluasi IPHHK dilakukan paling kurang 3 tahun sekali. Hasil penilaian kinerja IPHHK digunakan sebagai salah satu bahan penetapan kebijakan pengaturan dan pembinaan terhadap IPHHK yang bersangkutan. Bentuk kebijakan pengaturan dan pembinaan terhadap IPHHK berdasarkan hasil penilaian kinerja berupa : (a). Pemberian penghargaan dan/atau insentif bagi IPHHK yang berdasarkan penilaian kinerjanya dalam peringkat Sangat Baik; (b). Keberlanjutan usaha industri bagi IPHHK yang berdasarkan penilaian kinerjanya termasuk dalam peringkat Baik dan memenuhi seluruh kriteria dan indikator Prasyarat; (c). Pengaturan penurunan kapasitas izin produksi bagi IPHHK yang berdasarkan penilaian kinerjanya termasuk dalam peringkat Cukup, Kurang dan Buruk.

Untuk sementara yang kita bahas hanya sebatas ini saja. Bilamana ada yang ingin tahu lebih jelas maka kita akan membahasnya lebih lanjut lagi. Keputusan Menteri ini juga telah mengalami perubahan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.17/Menhut-II/2004. Perubahannya sebatas jumlah skore yang diberikan dalam penilaian kinerja dan beberapa hal lainnya, namun tidak mengubah keseluruhan Keputusan Menteri yang telah ada sebelumnya.

Sekian dan terima kasih.

Tuesday, April 7, 2009

Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri

Dalam penerimaan bahan baku kayu baik dalam bentuk bulat ataupun olahan ke dalam suatu industri pengolahan kayu harus terlebih dahulu mengurus rencana pemenuhan bahan baku industri. Hal ini diatur dalam peraturan yang telah beberapa kali mengalami perubahan atau penggantian. Terakhir kali adalah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.


RPBBI disusun untuk dilaksanakan selama 1 tahun berjalan atau dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun RPBBI-nya. Penyusunan RPBBI berdasarkan : (a). Kapasitas izin produksi, dan; (b). Kontrak kerjasama suplai/pasokan bahan baku.


Nah, bahan baku yang dipergunakan dalam kontrak kerjasama suplai untuk menyusun RPBBI dapat berasal dari : (a). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi, dan atau; (b). IUPHHK Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam, dan atau; (c). IUPHHK pada Hutan Tanaman Industri (HTI), dan atau; (d). IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan atau; (e). IUPHHK pada Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR), dan atau; (f). IUPHHK dalam Hutan Desa, dan atau; (g). IUPHHK Dalam Hutan Kemasyarakatan, dan atau; (h) Izin Lainnya Yang Sah (ILS) hasil hutan kayu atau Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan atau; (i) Hutan rakyat atau hutan hak, dan atau; (j). Izin penebangan / pemanfaatan kayu perkebunan.

Selain itu dapat menggunakan sumber bahan baku pendukung yang berasal dari : (a). Impor hasil hutan kayu, dan atau; (b). Hasil lelang dari rampasan, sitaan dan atau temuan hasil hutan kayu, dan atau; (c). Pemilik atau pedagang hasil hutan kayu dari asal usul yang sah, dan atau; (d). IPHHK lain dalam bentuk hasil hutan primer, barang setengah jadi atau hasil hutan olahan setengah jadi dan limbah dari proses produksi yang masih dapat diolah lagi.


Penyampaian RPBBI paling lambat tanggal 28 Pebruari tahun berjalan. Tujuan penyampaian adalah :

(a). Kapasitas izin produksi sampai dengan 2.000 M3 per tahun kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan dengan tembusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dan Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan.

(b). Kapasitas izin produksi di atas 2.000 sampai dengan 6.000 M3 per tahun kepada Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan dengan tembusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan.

(c). Kapasitas izin produksi di atas 6.000 M3 per tahun kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan.

Apabila RPBBI yang disampaikan tidak memenuhi persyaratan penyusunan yang berdasarkan Kapasitas izin produksi dan Kontrak Kerjasama suplai bahan baku, maka IPHHK dinyatakan tidak menyusun dan menyampaikan RPBBI.


Setiap tanggal 1 Maret tahun berjalan Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota sesuai dengan kapasitas izin produksi sesuai kewenangannya membuat daftar nama-nama pemegang IU-IPHHK yang telah dan belum menyampaikan RPBBI untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Begitu juga dengan Direktur Jenderal akan membuat daftar nama-nama pemegang IU-IPHHK dengan kapasitas izin produksi di atas 6.000 M3 per tahun yang telah dan belum menyerahkan RPBBI untuk disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.


Mengenai adanya perubahan rencana penggunaan sumber bahan baku dari RPBBI yang telah disampaikan sebelumnya, pemegang IU-IPHHK melaporkan perubahan RPBBI. Penyampaian laporan perubahan RPBBI harus diterima pejabat yang berwenang sebelum pasokan bahan baku diterima di IPHHK. dipenuhi atau sebelum bahan


Pemegang IU-IPHHK wajib menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi RPBBI meliputi : (a). Realisasi pemenuhan bahan baku; (b). Realisasi pemanfaatan atau penggunaan bahan baku serta produksi.

Demikianlah sekilas mengenai Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), semoga dapat menjadi penambah wawasan kita semua.