Monday, March 23, 2009

Industri Primer Hasil Hutan sesuai Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003

Masyarakat awam disekitarku atau lebih tepatnya lagi di kota tempat tinggalku sekarang yakni Pematangsiantar tak mengenal istilah Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Maklum saja karena Industri Primer Hasil Hutan Kayu bukan merupakan sebutan yang lazim di kota ini. Tapi kalau ditanya tentang kilang kayu atau sawmill pasti rata-rata tahu.

Ayo bersama-sama kita coba memahami apa itu Industri Primer Hasil Hutan Kayu.


Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : 125/Kpts-II/2003 tanggal 4 April 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang keluar pada jamannya pak Muhammad Prakosa sebagai sang Menteri Kehutanan, yang dimaksud dengan Industri Primer Hasil Hutan Kayu adalah pengolahan kayu bulat dan atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.


Jenis-jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang berdasarkan atas ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi, terdiri dari : 1). Industri Penggergajian Kayu (Sawmill); 2). Industri Veneer; 3). Industri Kayu Lapis (plywood) dan Laminating Veneer Lumber (LVL); dan 4). Industri Serpih Kayu (chipwood).


Jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan atas kapasitas produksi dikelompokkan menjadi :

a). Industri Penggergajian Kayu yang terdiri dari : 1). Skala kecil dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 M3 per tahun; 2). Skala menengah dengan kapasitas produksi lebih besar dari 2.000 M3 sampai dengan 6.000 M3 per tahun; 3). Skala besar dengan kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 M3 per tahun.

b). Industri Veneer, Industri Kayu Lapis (plywood) dan Laminating Veneer Lumber (LVL), dan Industri Serpih Kayu (Chipwood) yang terdiri dari : 1). Industri dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 M3 per tahun; 2). Industri dengan kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 M3 per tahun.

Penyelenggaraan Industri Primer Hasil Hutan Kayu bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan dan penggunaan bahan baku secara efisien, dalam rangka mewujudkan industri pengolahan kayu yang tangguh untuk mendukung pengelolaan hutan lestari dan pembangunan berwawasan lingkungan.

Untuk mendirikan Industri Primer Hasil Hutan Kayu sang pemilik harus memiliki Izin Usaha Industri. Begitu juga bagi yang telah memiliki Izin Usaha Industri, apabila ingin memperluas usahanya harus tetap memperoleh Izin Perluasan.


Memperoleh Izin Usaha Industri harus melalui tahap Persetujuan Prinsip. Persetujuan Prinsip diberikan agar pemilik dapat melakukan persiapan-persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan lain-lain yang diperlukan. Izin ini bukan merupakan izin untuk melakukan produksi komersial. Masa berlaku Persetujuan Prinsip yakni : a). bagi industri penggergajian kayu paling lama 2 (dua) tahun; dan b). bagi industri veneer, industri kayu lapis (plywood) dan laminating veneer lumber (LVL), serta industri serpih kayu (chipwood) paling lama 4 (empat) tahun. Apabila kegiatan persiapan pembangunan industri belum rampung maka Persetujuan Prinsip masih dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun untuk masing-masing Industri Primer Hasil Hutan Kayu.


Walaupun ada beberapa perbedaan kelengkapan menurut kapasitas produksi dan jenis Industri Primer Hasil Hutan Kayunya, namun secara garis besar kelengkapan untuk permohonan Persetujuan Prinsip adalah : a). Akte pendirian koperasi/perusahaan (untuk koperasi/perusahaan), atau foto copy KTP bila perorangan; b). Projek Proposal, yang memuat antara lain jaminan pasokan bahan baku kayu yang berkelanjutan, rencana lokasi industri, jumlah investasi, dan tenaga kerja; c). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d). Laporan Keuangan Tahunan selama 3 (tiga) tahun terakhir kecuali koperasi baru; e). Surat Keterangan dari Kepala Desa dan Camat setempat yang menyatakan tidak keberatan dibangunnya industri atau kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Gangguan.


Begitu juga dengan Izin Persetujuan Prinsip yang akan diberikan secara garis besar memuat ketentuan : a). Pemohon wajib menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun sekali paling lambat setiap tanggal 31 Januari tahun berikutnya; b). Tidak melakukan produksi komersial sampai diterbitkan Izin Usaha Industri; c). Menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang wajib untuk Industri Primer Hasil Hutan Kayu selain industri penggergajian kayu; d). Masa berlakunya Persetujuan Prinsip.


Apabila persiapan pembangunan industri telah rampung dan kewajiban-kewajiban selama masa izin persetujuan prinsip telah terpenuhi. Maka Izin Usaha Industri dapat dimohon dengan melengkapi : a). Surat Persetujuan Prinsip; b). Izin Mendirikan Bangunan (IMB); c). Susunan dan nama pengurus pemegang izin; d). Izin Lokasi; e). Melaporkan hasil studi AMDAL, UKL, UPL dan/atau SPPL; serta f). Laporan kemajuan pembangunan pembangunan pabrik dan sarana produksi.


Permohonan Izin Usaha Industri ditolak apabila : a). Tidak mendapat persetujuan Menteri Kehutanan atau tidak ada jaminan pasokan bahan baku yang berkelanjutan; b). Lokasi industri tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Persetujuan Prinsip; c). Jenis industri tidak sesuai dengan yang tertera dalam Persetujuan Prinsip; d). Pemohon tidak menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi.


Setelah semua persyaratan sudah dilengkapi maka Izin Usaha Industri akan diberikan dengan memuat antara lain : a). Nama, alamat dan pekerjaan pemegang izin; b). Nama, alamat kantor pusat dan/atau cabang pemegang izin usaha industri; c). Kapasitas produksi dan kapasitas terpasang; d). Jenis produk (kayu gergajian, veneer, kayu lapis, laminating veneer lumber atau serpih kayu); e). Lokasi industri (Desa / Kecamatan / Kabupaten / Propinsi); f). Jumlah Tenaga Kerja; g). Nilai Invenstasi; h). Tanggal penerbitan; dan i). Nama, Jabatan dan tanda tangan Pejabat Penerbit IUI.


Di samping itu pemegang izin usaha industri wajib menyampaikan informasi industri kepada Pejabat Penerbit IUI mengenai kegiatan usahanya sebagai berikut : a). Laporan semester disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Juli tahun berjalan dengan mengisi dan menggunakan formulir Model Pm-V; b). Laporan tahunan disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Januari tahun berikutnya dengan mengisi dan menggunakan formulir Model Pm-VI. Kedua formulir tadi maupun formulir lainnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 125/Kpts-II/2003.

Kita juga perlu mengetahui kepada siapa permohonan Izin Usaha Industri diajukan dan siapa Pejabat Penerbit IUI.

Semua jenis Industri Primer Hasil Hutan dengan kapasitas produksi s/d. 6.000 M3 per tahun diajukan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Kehutanan, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan, dan Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi.


Industri Primer Hasil Hutan dengan kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 M3 per tahun diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan, dan Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi.

Pejabat Penerbit Izin Usaha Industri adalah Gubernur untuk kapasitas s/d. 6.000 M3 per tahun dan Menteri Kehutanan untuk kapasitas produksi lebih besar dari 6.000 M3 per tahun.

Kita telah berbagi tentang permohonan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Nah sekarang kita akan coba mengupas tentang izin usaha industri yang mau mengajukan izin perluasan. Payung peraturannya juga tetap di Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 125/Kpts-II/2003.


Kelengkapan permohonan izin perluasan antara lain sebagai berikut : a). Rencana perluasan industri; b). Jaminan pasokan bahan baku kayu yang berkelanjutan untuk perluasannya; dan c). Persetujuan Revisi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan SPPL bagi perluasannya.

Tidak semua industri dapat bertahan dengan keadaannya saat diberikan IUI, bisa saja pada saat berlangsungnya operasional ternyata bahan baku berkurang sehingga kapasitas terpasang dan/atau kapasitas produksi mau dikurangi, dan/atau mesin perlu diremajakan, dan/atau ingin meningkatkan jenis produksi dari izin yang diberikan. Pemegang IUI wajib melaporkan kepada Pejabat Pemberi IUI.

Untuk pemindahan lokasi wajib memiliki persetujuan tertulis dari Pejabat Pemberi IUI baik di tempat yang lama maupun yang baru. Kelengkapan permohonannya antara lain : a). Jaminan pasokan bahan baku yang berkelanjutan di tempat yang baru; b). Tidak berada di daerah yang tertutup untuk jenis industrinya; c). Surat IUI atau izin perluasan asli; d). NPWP; e). Akte pendirian perusahaan; f). Surat persetujuan lokasi baru.


Bagi yang mau melakukan perubahan nama dan/atau penanggung jawab pemegang izin, wajib mengajukan permohonan perubahan nama dan/atau penanggung jawab pemegang izin secara tertulis kepada Pejabat yang berwenang pemberi IUI dan Izin Perluasan. Kelengkapan permohonannya adalah akte perubahan nama dan/atau penanggung jawab pemegang izin yang dibuat di hadapan notaris.

Izin Usaha Industri sudah didapatkan, maka tinggal melaksanakan kewajiban dan menuntut hak sebagai pemegang IUI.


Hak pemegang IUI adalah : a). memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; b). mendapatkan pelayanan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Kewajiban pemegang IUI antara lain : a). Menjalankan usaha sesuai dengan izin yang dimiliki dan mengolah bahan baku hasil hutan yang sah sesuai peraturan perundangan yang berlaku; b). Menyelenggarakan industri primer hasil hutan kayu sesuai Kriteria dan Indikator yang ditetapkan Menteri Kehutanan; c). Menyusun dan menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) setiap tahun sesuai batas waktu yang ditentukan; d). Membantu memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar lokasi industri; e). Memiliki tenaga teknis yang profesional di bidang kehutanan termasuk tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan dan tenaga lain sesuai dengan ketentuan; f). Melaksanakan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan yang melampaui batas baku mutu lingkungan; g). Membuat dan menyampaikan Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) dan Laporan Mutasi Hasil Hutan Olahan; h). Melaporkan secara berkala kegiatan dan hasil industri kepada pejabat pemberi izin dan instansi yang diberikan kewenangan dalam pembinaan dan pengembangan industri primer hasil hutan kayu, berupa laporan bulanan, triwulan, semester dan tahunan, yang memuat antara lain : (h.1). Kemajuan pelaksanaan kegiatan industri; (h.2). Realisasi pemenuhan pasokan bahan baku; (h.3). Realisasi produksi dan pemasaran; (h.4). Laporan akuntabilitas perusahaan.


Nah kawan-kawan inilah secara garis besar isi peraturan tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan. Mudah-mudahan kita semua dapat memahaminya.


Bagaimana mengenai izin usaha industri yang sudah ada sebelum peraturan Menteri ini lahir, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), evaluasi industri, dan pengenaan sanksi administratif akan kita bahas dengan judul yang lain karena payung peraturannya berbeda-beda.


Semoga berguna bagi kita semua.



2 comments:

Anonymous said...

pak..menurut p.35/menhut-II/2008 tidak disebutkan proses izin pemindahan lokasi industri sedangkan saat ini kepmenhut 125/kpts-II/2003 sudah tidak berlaku lagi?

PANDANGAN RIMBAWAN said...

Terima kasih, memang proses pemindahan lokasi tidak langsung diatur dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 tapi untuk permohonannya masih bisa dilakukan, mengingat masih ada disinggung pada Pasal 28 Permenhut ini.